Rabu, 05 Januari 2011

Problem, Berpikir, dan Cerdas

       "Aduh.....mumet pikiranku", Ah.....rasa pecah kepalaku, Ampun.....tak sanggup lagi, pikiranku blank", demikian antara lain ungkapan orang yang sedang merasa terhambat laju pikirannya, ketika berhadapan dengan problem. Hidup ini memang tak mungkin tanpa problem. Bahkan tanda suatu kehidupan masih berjalan normal, ketika problem masih datang silih berganti. Tetapi adakah manusia yang senang didatangi masalah ? Adakah insan yang gelak ketawa, karena bertemu problem ? Kalau ada, tentu terasa aneh. Adakah keluarga yang gembira ketika anaknya semakin nakal ? Adakah guru yang senang melihat muridnya malas belajar ? Ini problem, dan.... masih banyak lagi problem. Pokoknya, ketika harapan, keinginan, ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi, maka wujudnya adalah masalah.Dan ini pasti tidak menyenangkan.  Lalu bagaimana orang mencari solusi dari suatu problem ?  Inilah tugas pokok dari berpikir. Tetapi benarkah orang selalu berpikir ketika berhadap dengan masalah ? Tentu tidak, bahkan banyak orang memecahkan masalah dengan emosinya, sehingga bisa jadi masalah bukan saja tidak ditemukan solusinya, bahkan masalah menjadi beranak pinak. Lalu, apa sebenarnya berpikir ? 
       Berpikir adalah perilaku abstrak yang dikendalikan oleh otak, yang wujudnya berupa gagasan, ide, un tuk membuat perilaku nyata, sehingga problem dapat diurai dan berubah menjadi sarana mempercepat tercapainya suatu tujuan. Berpikir minimal mempunyai tiga tugas yang tidak terpisahkan, yaitu:
1. tugas dasar dari berpikir adalah mengingat. Tanpa ingatan yang baik, sulit orang untuk berpikir secara 
    efektif. Tetapi kalau berpikir hanya difungsikan untuk mengingat/menghapal sesuatu, maka hasilnya akan
    sangat terbatas.Itu sebabnya kalau pembelajaran di sekolah hanya atau terlalu terfokus pada hapalan, maka
    kualitas berpikir anak hasil pendidikan tersebut, tentu sangat sulit diandalkan dalam menghadapi kehidupan
    ini, apalagi dizaman teknologi informasi sekarang ini.
2. tugas pokok dari berpikir adalah memecahkan masalah, membuat pendapat, mengolah  
    konsep/perencanaan. Dengan kata lain, bila problem tak pernah ada, atau jarang terjadi, maka kemampuan
    berpikir manusia "diistirahatkan". Kalau ini berlangsung lama secara simultan, maka bisa dibayangkan
    bahwa kemampuan berpikir itu semakin lama semakin redup, dan semakin terasa berat untuk difungsikan
    kembali. Sebaliknya, kalau problem datang silih berganti, pikiran selalu difungsikan untuk menemukan 
    solusinya, maka semakin lama kemampuan berpikir tersebut, terasah, terlatih sehingga semakin tajam,  
    kuat, dan .....orang  yang  bersangkutan semakin cerdas/ pintar.Jadi dapat dikatakan, bahwa kecerdasan
    sesorang akan menjadi fungsional/terwujud akibat adanya problem..Adanya masalah justru menjadi
    pemicu terwujudnya. Walaupun tidak menyenangkan, adanya masalah dalam kehidupan ini, bila kita simak
    hikmah yang tersembunyi di dalamnya, maka seharusnya manusia selalu bersyukur, dan mau serta harus
    mampu "menerima" realita, bagaimanapun pahitnya realita itu. Singkatnya, kalau manusia mendapat masalah
    selalu berkeluh kesah, maka secara tidak langsung, sama artinya ia ingin dijauhkan dari "hidup cerdas".
3. tugas kongret dari berpikir adalah mewujudkan tindakan nyata. Artinya hasil berpikir yang masih abstrak,
    harus dilanjutkan dengan berpikir untuk melakukan tindakan. Adanya tindakan akan memberikan manfaat
    bagi dirinya dan orang lain. Banyak hasil berpikir yang brilian, namun akhirnya tak pernah ada manfaatnya,
    karena tak pernah dilakukan tindakan.Inilah salah satu penyebab, mengapa banyak orang "pintar" di atas
    kertas (ijazah, sertfikat, dan penghargaan lainnya), tetapi tidak terlihat kiprahnya dalam kehidupan
    masyarakat.
       Dari uaraian singkat di atas, dapat dikatakan bahwa adanya berbagai problem harus dihadapi dengan berpikir, sebab hanya dengan cara inilah kita akan menjadi semakin cerdas.
  

Selasa, 04 Januari 2011

Mendidik anak, menghindari 3 M

     Sudah jatuh tertimpa tangga, sepertinya pepatah ini cocok untuk suatu anekdote berikut ini. Seorang ibu yang sedang membersihkan halaman berteriak kepada anaknya yang masih seusia prasekolah :"awas, jangan naik, nanti jatuh". Sementara anaknya yang sedang berusaha menaiki pagar halaman rumah ibu itu, tak menghiraukan teriakan sang Ibu, meskipun teriakan itu telah diulangnya beberapa kali. Namun tak berselang lama, terdengar bunyi: "gdebuuk....". Sang ibu kaget sambil menoleh ke arah bunyi, lalu berkata, kan sudah ibu bilang (dengan suara tinggi), jangan naik, kan jatuh...Ibu itu lari mendekati anak yang sudah jatuh terjerambab di bawah pagar sambil meringis kesakitan, dengan sepotong kayu di tangan, ibu itu mendekati anaknya, dan langsung memukulkan kayu itu ke pantat anaknya, sambil berkata,: "  nih ibu tambahi sakitnya, biar jera, dasar anak bandel, tidak mau nurut sama orang tua"  Aduh....... sakit ma.... ampun....., anaknya teriak kesakitan.
      Begitulah... anak sudah sakit, bukan ditolong tetapi malah disakiti lagi dengan pukulan kayu. Sudah jatuh, dipukul kayu pula. Kejadian sejenis ini sudah sering dialami anak, bukan hanya dalam kasus fisik semacam itu, juga kasus psikologis lebih sering lagi. Misalnya, anak yang sedih karena nilai ulangannya jatuh, sesampai di rumah didamprat habis-habisan, dengan mengungkit berbagai kesalahan dan kelemahan anak lainya. Anak yang baru terpukul karena hpnya hilang, di maki-maki orangtuanya karena dianggap ceroboh dan lain sebagainya. Sungguh, hal semacam ini dianggap biasa oleh orangtuanya, terutama bagi orang tua yang kurang memahami aspek psikologis dalam pendidikan anak. Atau mungkin juga karena orangtuanya belum mampu mengendalikan emosinya. Anak menjadi sasaran kemarahan atau kejengkelan orangtua. Hati anak terluka, anak "dipaksa" membangun kebencian terselubung kepada orangtuanya sendiri.
      Dengan pemahaman psikologi secara sederhana, kita sebagai orangtua seyogyanya menghindari perlakuan terhadap anak yang mengandung 3 M, yaitu : memaksa, mengancam, dan menghina, anak. Bila orangtua  sering memaksa anak, misalnya memaksa belajar, memaksa makan, memaksa mandi dan lain sebagainya, bukan saja anak menjadi jengkel, sebel, kadang-kadang menimbulkan perilaku perlawanan, membantah, dan lain sebagainya,  juga justru membuat anak semakin jauh dari kesadaran. Karena kesadaran tak akan pernah muncul kalau dipaksa dari luar. Kesadaran itu ada di dalam diri anak, maka pemunculannya, atau lebih tepat, pendorong tumbuhnya kesadaran itu harus dari dalam diri anak itu  juga. Memang tidak semua anak bisa tumbuh kesadaran tanpa dipaksa. Iya, memang, harus ada aspek psikologis "pemaksa" tetapi pengolahannya harus dari dalam, bukan dipaksa dari luar (orangtuanya). Lalu bagaimana ? Salah satu strateginya adalah bahwa kita harus membiasakan berdialog dengan anak, dan mengorientasikan isi dialog itu ke perilaku yang kita ingin anak melakukannya, dengan dasar keinginannya sendiri tanpa disuruh oleh orangtua secara langsung. Dengan kata lain, orangtua semakin mengurangi menyuruh anak melakukan seseuatu, tetapi berdialog dengan anak agar anak melakukan sesuatu "sendiri" tanpa merasa disuruh. Sangat disadari strategi ini tidak selalu mudah, perlu kesabaran dan ketekunan, dan selalu belajar dari perilaku anak itu sendiri. Selanjutnya, M yang kedua yang sering dilakukan orangtua adalah mengancam. "Awas kalau sampai gagal, nanti ibu potong uang belanaja sekolah". Ancaman semacam ini tentunya dimaksudkan untuk memberi motivasi agar anak berusaha lebih keras, namun bila ditinjau dari perkembangan psikologis anak, ternyata ancaman  itu bukan saja tidak efektif menimbulkan motivasi yang hakiki, malah justru menimbulkan dampak psikis yang negatif, seperti anak merasa tertekan, menjadi penakut, rendah diri, bahkan bisa berdampak negatif pada ingatan dan daya konsentrasinya. Jadi, ancaman bukanlah cara yang baik dalam memotivasi anak. Gantilah dengan cara penguatan yang lain, seperti pujian/penghargaan, perhatian atau pemenuhan kebutuhan yang memang bermanfaat dan bersifat edukatif untuk dirinya. Lalu, M yang ketiga adalah menghina atau merendahkan anak. Tak jarang orangtua, demi memacu semangat anak belajar, membanding prestasi anaknya dengan orang lain yang lebih sukses. Sepertinya cara ini sah-sah saja. Namun kalau kita mau sedikit "berempati", memposisikan diri kita di posisi anak, betapa kita merasa direndahkan,  bahkan mungkin merasa dilecehkan, kemampuan kita ditaruh di bawah kemampuan orang lain. Ego anak, rasa aku anak, kebanggaan pada diri sendiri, dipaksa diletakkan di bawah ego orang lain. Sungguih sulit dibayang apa jadinya jiwa anak yang sering mengalami hal demikian. Lebih jauh, bila anak sering kurang dihargai dirinya, usahanya, perbuatannya, maka cepat atau lambat, akan tumbuh benih dalam jiwa anak ketidakmampuan dan ketidakmauan menerima kenyataan. Bila ini yang terjadi, maka anak bisa tumbuh menjadi anak yang brutal, tak mau diatur,  atau sebaliknya menjadi anak yang inferior, minder, sangat apatis dan pesimis dalam hidupnya. Jadi, memacu semangat anak tak perlu disertai hinaaan, tetapi sebaliknya berilah dia harapan dan gambaran keberhasilan selaras dengan kemampuannya.
       Kesimpulannya, dengan berkaca dari anekdote di atas, memotivasi anak, sebaiknya tak perlu melibatkan tiga m, memaksa, mengancam, dan menghina.